Senin, 18 April 2011

Inspirasi Mak Karsi

Sore itu seperti biasa ia berjalan menyusuri jalan setapak di daerah Kebon. Dengan tas jinjing dari anyaman bambu dan wadah yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan tenong, ia mulai menjajakan jajanannya. Mak Karsi adalah perempuan tua yang masih berjuang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Anak laki-lakinya telah menikah setahun yang lalu. Namun sejak enam bulan yang lalu ia tak pernah mengunjungi ibunya yang sebatang kara itu lagi.
Sudah menjadi rutinitas Mak Karsi menjajakan nasi urap dan lauk yang sudah matang di desa kami. Setiap jam tiga sore ia keluar rumah sambil membawa jualannya dan pulang saat petang menjelang maghrib. Jika ia sedang mujur, dagangannya akan habis. Tapi jika sedang kurang beruntung, sisa dagangannya ia berikan pada tetangga kanan kirinya agar tidak basi dan dibuang percuma. Ia adalah wanita yang hebat. Meski umurnya hampir kepala enam, namun semangatnya tetap membara.
Suatu ketika Mak Karsi pernah berkata, " Sebenarnya aku ini dulu ingin melanjutkan sekolah, nduk?" ujarnya sambil membungkusi nasi urap yang akan dijajakan.
" Lho trus kenapa nggak jadi toh, Mak?" tanyaku penasaran.
" Lha wong sama mboknya Mak nggak boleh. Katanya ga ada gunanya. Perempuan itu ya cuma di dapur dan ngurus suami jadi nggak usah sekolah tinggi-tinggi. SD saja wes cukup." jelasnya. " Dulu temannya Mak banyak yang melanjutkan ke SMP. Tapi Mak malah disuruh di dapur dan akhirnya dinikahin sama Mbah kakung itu."tambahnya dengan nada yang sedikit kesal.
Aku hanya mengangguk-angguk saja dan berpikir kasihan sekali Mak Karsi. Dia dengan semangat tinggi ingin sekolah biar tambah pintar, tapi keadaan tidak memungkinkan. Sedangkan aku yang didukung oleh orang terdekatku malah malas-malasan untuk sekolah. Sejenak aku berpikir, kolot sekali orang jaman dulu. Bukankah jaman itu sudah ada emansipasi wanita yang diperjuangkan oleh Kartini, tapi mengapa masih saja ada orang yang berpikiran bahwa wanita itu cukup dirumah saja, tahu dapur dan cara mengurus suami dan anak. Kartini sudah memperjuangkan sedemikian rupa sehingga derajat wanita dan pria sekarang itu sama. Kita harus bisa meneruskan cita-cita Kartini sebagai seorang wanita di jaman globalisasi.
Tapi kejadian seperti Mak Karsi itu masih saja terjadi sampai saat ini. Di daerah tempat tinggalku dulu, teman mengajiku yang baru berumur 15 tahun sudah dinikahkan sama bapaknya. Padahal teman-temannya masih asyik sekolah sedangkan dia sudah menggendong bayi. Kupikir-pikir aku termasuk anak yang beruntung karena orang tuaku mendukung pilihanku untuk belajar sampai perguruan tinggi ini dan terus memotivasiku.
" Kamu harus bersyukur nduk bapak ibumu nggak seperti bapak mbokku. Bapak ibumu mengerti sama kemauan anak. Kalau sudah begini, kamu jangan mengecewakan mereka. Perjuangkan yo nduk? Kamu tahu Kartini kan?" tanyanya.
" Ya Mak. Kenapa?" tanyaku balik.
" Kalau kamu tahu Kartini berarti kamu sudah tahu apa yang diperjuangkan dia dulu toh. Lanjutno iku nduk. Wong wedok ojo gelem kalah teko wong lanang (orang perempuan jangan mau kalah sama orang laki-laki)." ucapnya sebelum ia berdiri dan memulai lagi rutinitasnya menjual  nasi urap.
" Ya Mak." jawabku sambil tersenyum. Wanita harus bisa bersaing di jaman globalisasi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar